Semua dari kita di negeri ini sepakat bahwa memakai kaus ketika mengisi kajian atau menjadi moderator dan panitia kajian itu adalah bentuk merendahkan dan tidak menghormati majelis ilmu tersebut. Padahal, wajib bagi kita untuk menjaga ilmu dari hal-hal yang bisa meruntuhkan wibawanya dan menghilangkan kemuliaannya.
Ibnu Jama’ah al-Kinaniy asy-Syafi’iy rahimahullah, ketika menjelaskan tentang adab-adab seorang pengajar, beliau berkata,
أن يصون العلم كما صانه علماء السلف، ويقوم له بما جعله الله تعالى له من العزة والشرف.
“(Hendaknya seorang pengajar) menjaga ilmu sebagaimana para ulama’ generasi terdahulu menjaganya. Dan hendaknya beliau menjaga ilmu dengan melakukan hal-hal yang telah Allah tetapkan memiliki kewibawaan dan kemuliaan.” 1
Dengan kata lain, jika kita memang ingin mengikuti para ulama’ generasi terdahulu, maka ikuti pula adab mereka terhadap ilmu dan majelis ilmu. Jangan sampai kita membuat klaim sudah ngaji dan berusaha mengikuti generasi terdahulu, tetapi ternyata kita masih jauh dari mereka dalam masalah memuliakan dan mengagungkan ilmu dan majelis ilmu.
Syaikh Shalih ibn ‘Abdillah al-’Ushaimiy hafizhahullah berkata,
من لم يصن العلم لم يصنه العلم – كما قال الشافعي -، ومن أخل بالمروءة بالوقوع فيما يشين فقد استخف بالعلم، فلم يعظِّمه ووقع في البطالة، فتقضي به الحال إلى زوال اسم العلم عنه.
“Barangsiapa yang tidak menjaga ilmu, maka ilmu tidak akan menjaganya (sebagaimana perkataan asy-Syafi’iy). Dan barangsiapa yang menjatuhkan muru’ahnya dengan cara melakukan sesuatu yang tercela, maka dia telah merendahkan ilmu dan tidak mengagungkan ilmu, dan dia akan terjatuh kepada kefuturan. Hal ini kemudian akan menyebabkan hilangnya nama ilmu darinya.” 2
Betapa indah perkataan yang beliau nukil dari al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah tersebut. Jika seseorang tidak menjaga ilmu dengan cara meremehkan dan merendahkan ilmu dan majelis ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan menjaganya; yakni, tidak akan bermanfaat baginya.
Ketika seseorang tidak berusaha meneladani para ulama’ generasi terdahulu dalam menjaga adab berpakaian di majelis ilmu, dan malah justru lebih senang dengan “pakaian-pakaian gaul” berhiaskan nama-nama orang fasik bahkan kafir misalnya, maka mudah sekali baginya untuk menjadi futur dan tidak istiqamah di atas ilmu. Karena sejatinya ia masih lebih senang kepada lifestyle orang-orang fasik bahkan kafir tersebut daripada meneladani para ulama’ Islam dari kalangan generasi terdahulu.
Syaikh Shalih ibn ‘Abdillah al-’Ushaimiy hafizhahullah juga berkata,
ومن أخل بمروءته وهو ينتسب إلى العلم فقد افتضح عند الخاص والعام، ولم ينل من شرف العلم إلا الحطام.
“Barangsiapa yang menjatuhkan muru’ahnya padahal dia dinisbatkan kepada ilmu, maka namanya telah jatuh di hadapan orang yang berilmu dan orang awam. Dan dia tidak akan mendapatkan kemuliaan ilmu kecuali serpihannya saja.” 3
Yang termasuk orang yang dinisbatkan kepada ilmu adalah para pengajar, seperti para ulama’, para ustadz, para da’i. Demikian pula orang-orang yang menjadi panitia kajian dan termasuk juga moderator kajian, karena mereka juga ikut andil dalam mendakwahkan dan menyebarkan ilmu. Apa jadinya ketika seorang pengajar dan para panitia kajian, yang seharusnya mengajak masyarakat untuk lebih mendekat kepada tuntunan Islam, kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada para ulama’ generasi terdahulu, tetapi malah menarik dan menyeret orang-orang untuk lebih menyenangi cara berpakaian yang tidak sesuai dengan adab terhadap ilmu dan majelis ilmu? Sebagaimana perkataan Syaikh al-’Ushaimiy hafizhahullah di atas, hasilnya adalah mereka tidak akan mendapatkan kemuliaan ilmu kecuali serpihannya saja.
Apakah kita kemudian mengorbankan adab terhadap ilmu dan majelis ilmu dalam rangka karena ingin menarik jama’ah dan ingin disenangi oleh orang-orang yang belum ngaji dan belum paham tentang masalah adab ini? Sungguh yang melakukan itu sebenarnya lebih dekat kepada kefuturan daripada keteladanan.
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com
Masya Allah Tabarakallah
Syukron Jazakallah Khayran Ustadz