Perumpamaan yang Menakjubkan dalam Sebuah Hadits Antara Ilmu dan Harta Warisan

Biasanya, suatu perumpamaan dibuat untuk menunjukkan adanya kesamaan antara dua benda atau dua hal, dengan tujuan untuk memahamkan orang-orang tentang salah satu dari kedua hal tersebut.

Akan tetapi, dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan antara ilmu dan harta warisan, dengan tujuan untuk memahamkan orang-orang tentang kedudukan dan derajat ilmu, tetapi justru dengan cara menunjukkan perbedaan demi perbedaan antara ilmu dan harta warisan!

Diriwayatkan dari Abud-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورِّثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورَّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر.

“Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” [[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641). ]]

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan antara ilmu dan warisan. Akan tetapi, beliau tidak menunjukkan persamaan antara keduanya. Justru yang beliau lakukan adalah menunjukkan berbagai perbedaan yang ada di antara keduanya, sehingga kita bisa semakin memahami kedudukan dan derajat dari ilmu.

Tentu yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu syar’iy, yaitu ilmu yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para nabi dan rasul, yang tidak ada jalan bagi kita untuk mengetahuinya kecuali melalui wahyu dari Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Ini berbeda dengan ilmu dunia, di mana ilmu tersebut bisa didapat melalui hasil usaha kita untuk berpikir, mengamati, menganalisa, dan melakukan eksperimen tentang alam semesta ciptaan Allah ini.

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa perbedaan antara ilmu dan warisan, yaitu sebagai berikut:

Perbedaan Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وإن الأنبياء لم يورِّثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورَّثوا العلم.

“Dan para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu.”

Berbeda dengan warisan pada umumnya, di mana yang diwariskan adalah harta benda, maka warisan dari para nabi adalah ilmu. Cukuplah ini sebagai petunjuk tentang tingginya kemuliaan dan agungnya kedudukan para nabi ‘alaihimush-shalatu was-salam.

Bagaimana tidak? Yang mereka tinggalkan ini adalah sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat dari seorang hamba. Yang mereka wariskan ini adalah sesuatu yang menjadi kunci agar kita bisa mengetahui apa yang diridhai oleh Rabb kita dan apa yang dimurkai oleh-Nya. Jika hukum asal mashlahat dan manfaat dari harta benda adalah sesuatu yang bersifat fana, maka hukum asal mashlahat dan manfaat dari ilmu adalah sesuatu yang bersifat kekal, karena ia adalah kunci dari masa depan seseorang di akhirat.

Perbedaan Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وإن العلماء ورثة الأنبياء.

“Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para nabi.”

Berbeda dengan harta warisan, di mana hanya keluarganya yakni para ahli waris yang berhak mewarisinya, maka para ulama’ dapat mewarisi ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun mereka bukan termasuk ahlul-bait atau keluarga beliau atau keturunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwa siapa pun dapat mewarisi ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni menjadi orang yang berilmu atau ulama’, jika dia meluruskan niatnya dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, dan bekerja keras serta istiqamah dalam menuntut ilmu tersebut.

Perbedaan Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وإن العلماء ورثة الأنبياء.

“Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para nabi.”

Lafazh “ulama’” di sini adalah lafazh yang umum, yang mencakup orang-orang yang berilmu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan juga orang-orang yang berilmu setelah zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, walaupun seseorang baru lahir di abad ke-15 hijriyyah seperti kita sekarang, dia tetap bisa mewarisi ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berbeda dengan orang-orang yang mendapatkan warisan harta. Ketika seseorang meninggal dunia, hanya orang-orang yang masih hidup dan “sudah hidup” dari kalangan ahli warisnya yang berhak mewarisi hartanya. Adapun keturunannya yang ketujuh misalnya, jika dia belum lahir ketika orang tersebut meninggal dunia, maka dia tidak bisa mendapatkan harta warisannya tersebut.

Ini menunjukkan bahwa pintu warisan berupa ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap terbuka bagi generasi belakangan dari umat ini. Adakah dari kita yang bersemangat untuk meraihnya dan membuka pintu ilmu tersebut?

Perbedaan Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فمن أخذه أخذ بحظ وافر.

“Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”

Untuk kasus harta warisan, jika ada seseorang yang menurut hukum waris mendapatkan bagian yang banyak dari harta warisan tersebut, maka pasti orang lain hanya mendapatkan bagian yang sedikit.

Ini berbeda dengan ilmu yang merupakan warisan dari para nabi. Lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tidak peduli berapa banyak orang yang mewarisi ilmu dari beliau, mulai dari orang-orang dari kalangan generasi pertama yakni para sahabat, kemudian generasi kedua yakni para tabi’in, kemudian generasi ketiga yakni para tabi’it-tabi’in, kemudian generasi-generasi berikutnya hingga generasi kita saat ini, semuanya disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka telah mengambil bagian yang banyak.

Ini menunjukkan bahwa walaupun para sahabat adalah generasi yang paling berilmu dan paling banyak dalam mengambil ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga paling memahami terkait agama Allah ini, itu bukan berarti kita menjadi putus asa karena meyakini bahwa kita hanya akan bisa mengambil bagian yang sedikit saja dari warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebaliknya, kita harus semangat dalam menuntut ilmu, karena walaupun kita tidak akan bisa menyamai kemuliaan dan kedudukan para sahabat, Allah tetap membuka pintu ilmu bagi siapa pun yang berusaha keras untuk mengetuknya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk senantiasa menuntut ilmu syar’iy, lalu mengamalkannya, lalu mendakwahkannya, sehingga kita menjadi bagian dari orang-orang yang mendapatkan warisan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top