Di antara hukuman yang Allah berikan kepada para ahli bid’ah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Berhati-hatilah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul; mereka akan ditimpa fitnah atau ditimpa ‘adzab yang pedih.” 1
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua hukuman bagi para ahli bid’ah. Yang pertama adalah fitnah, yang itu terjadinya di dunia, dan yang kedua adalah ‘adzab yang pedih, yang itu terjadinya di akhirat. 2
Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah musibah, bukan fitnah yang bermakna perkataan bohong seperti yang terkenal dalam bahasa Indonesia. Di antara tafsir yang disebutkan oleh para ulama’ tentang makna fitnah ini adalah diputarbalikkannya pemahaman mereka, sehingga mereka menilai yang bathil sebagai sesuatu yang haq, dan yang haq sebagai sesuatu yang bathil. 3
Ini sebagaimana yang terkandung dalam sebuah bait sya’ir,
يُقضى على المرء في أيام محنته
حتى يرى حسنا ما ليس بالحسن
“Ditimpakan kepada seseorang pada hari-hari ujian untuknya
sehingga dia melihat sebagai kebaikan sesuatu yang bukan kebaikan” 4
Demikianlah keadaan orang-orang yang melakukan kebid’ahan dan tidak mau mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka akan merasa bahwa akidah yang mereka yakini dan amalan yang mereka perbuat tersebut adalah suatu kebaikan, padahal itu adalah kebid’ahan. Dan sebaliknya, mereka akan merasa akidah dan amalan yang sesuai dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai keburukan, padahal itu adalah al-haq.
Mereka akan menjauh dari dalil, dengan cara menggunakan akal mereka sebagai landasan untuk beragama, atau menta’wil dalil, agar sesuai dengan akidah yang mereka yakini yang itu didapat dari akal-akal mereka. Itu mengapa dalam masalah Nama dan Sifat Allah, mereka mengkategorikannya sebagai perkara ‘aqliyyat, yaitu perkara yang dalil utamanya adalah akal, bukan sebagai perkara sam’iyyat, yaitu perkara yang dalil utamanya adalah nash syar’iy. Bahkan dalam perkara sam’iyyat pun, mereka hanya menerima nash syar’iy yang sesuai dengan akal mereka! Yang tidak sesuai maka akan mereka ta’wil, yakni disimpangkan dan diselewengkan maknanya, agar sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka.
Itu karena mereka memiliki prinsip: jika akal dan nash syar’iy bertentangan, maka yang didahulukan adalah akal! Adapun ahlus-sunnah, maka mereka meyakini bahwa tidak mungkin akal dan nash syar’iy itu bertentangan, jika akalnya lurus! Jika tampak bertentangan, maka ketahuilah bahwa itu karena akal kita yang belum memahami nash syar’iy tersebut dengan pemahaman yang benar. Betapa sering orang merasa ada yang janggal dengan makna suatu ayat atau hadits, tetapi setelah dia menelaah perkataan para ulama’ generasi terdahulu, atau bertanya kepada orang yang berilmu tentang makna ayat atau hadits tersebut, barulah pemahamannya menjadi utuh, dan tidak ada lagi yang janggal dengan ayat atau hadits tersebut!
Mereka para ahli bid’ah juga akan membenci dan memusuhi ahlus-sunnah, yaitu orang-orang yang berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sekadar mengajarkan kepada kaum muslimin agar menjauhi bid’ah, sudah cukup menjadi alasan untuk mereka benci dan mereka musuhi. Yang bid’ah mereka nilai sebagai suatu Sunnah, sedangkan yang Sunnah mereka nilai sebagai sebuah bid’ah. Padahal, yang mengajarkan kita untuk menjauhi kebid’ahan, dan yang menjelaskan kepada kita bahwa semua bid’ah itu adalah kesesatan, adalah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-’Irbadh ibn Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة.
“Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah kesesatan.” 5
Semoga kita senantiasa diberikan hidayah dan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk selalu menetapi kebenaran dan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com
- Surat an-Nur: 63. [↩]
- Ma’alimut-Tanzil, karya al-Husain ibn Mas’ud Abu Muhammad al-Baghawiy rahimahullah (6/68). [↩]
- Sebagaimana penjelasan Syaikh Sa’d ibn Nashir asy-Syatsriy hafizhahullah. [↩]
- Sya’ir ini adalah milik al-Amir Yahya ibn ‘Aliy Basya al-Ihsa’iy al-Hanafiy (w. 1095 H). [↩]
- Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4607). [↩]