Seluruh ilmu syar’iy, baik masalah ushul-nya ataupun furu’-nya, bertumpu pada bagaimana pemahaman dan pengamalan kita terhadap Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Misalnya, ketika Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 1
Pada ayat ini, Allah memerintahkan kita bahwa jika kita benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah untuk mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dijadikan oleh Allah sebagai bukti penentu dari apakah kita benar-benar mencintai-Nya atau tidak.
Dan ketika seseorang itu benar-benar mencintai Allah, maka itu berarti dia memahami bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna, baik Nama-Nama-Nya dan Sifat-Sifat-Nya, yang tidak ada selain Dia yang mampu untuk menciptakan alam semesta ini, memeliharanya, dan memberikan rezeki kepada para makhluk-Nya, serta tidak ada selain Dia yang berhak untuk diibadahi. Kecintaan seseorang kepada Allah, jika itu memang benar-benar nyata, maka itu bersumber dari pemahaman dan pengamalannya terhadap Tauhid Asma’ wa Shifat. Dan kecintaan seseorang kepada Allah, jika itu memang benar-benar nyata, maka dia pasti akan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh yang kedua adalah tentang akidah seorang mukmin bahwa kelak akan terjadi Hari Kebangkitan, di mana seluruh manusia dan makhluk lainnya akan dibangkitkan kembali setelah matinya, untuk kemudian dimintai pertanggungjawabannya atas apa-apa yang telah dia lakukan selama di dunia. Allah mengaitkan akidah ini dengan bagaimana seseorang memahami dan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Berilmu dan Maha Mengetahui.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, menukil perkataan orang-orang kafir tentang bagaimana mereka sangat heran dengan akidah akan adanya Hari Kebangkitan,
أَإِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا ۖ ذَٰلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ
“Apakah kami setelah mati dan menjadi tanah (akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali)? Sungguh itu adalah suatu pengembalian yang sangat tidak mungkin.” 2
Setelah menyebutkan penolakan dan pengingkaran mereka terhadap Hari Kebangkitan tersebut, maka bantahan pertama yang disebutkan dalam ayat setelahnya adalah dengan menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Berilmu dan Maha Mengetahui, sehingga konsekuensinya adalah bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha Mampu dan Maha Kuasa untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali manusia setelah matinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَدْ عَلِمْنَا مَا تَنقُصُ الْأَرْضُ مِنْهُمْ ۖ وَعِندَنَا كِتَابٌ حَفِيظٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh tanah dari (tubuh) mereka. Dan pada Sisi Kami ada kitab yang mencatat.” 3
Renungkanlah ayat ini baik-baik. Lihat bagaimana Allah mengaitkan antara akidah tentang Hari Kebangkitan dengan akidah bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Berilmu dan Maha Mengetahui. Dengan kata lain, jika seseorang menolak dan mengingkari dibangkitkan dan dihidupkannya kembali para makhluk di akhirat kelak, maka dia pada hakikatnya menolak dan mengingkari kesempurnaan Sifat Ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah dia memiliki akidah yang cacat tentang Hari Kebangkitan, melainkan itu karena dia memiliki akidah yang cacat tentang Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala!
Contoh yang ketiga adalah tentang ketundukan kita kepada Allah dalam mengamalkan syari’at yang telah Allah turunkan ini, yang itu tercantum dalam sebuah bidang ilmu syar’iy yang kita semua kenal dengan nama ilmu fikih. Hukum-hukum syar’iy yang tertera dalam ilmu fikih, maka itu adalah dari Allah. Oleh karena itu, hukum-hukum fikih tersebut adalah cerminan dari Sifat Adil dan Hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika kita mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum fikih tersebut, maka itu berarti kita telah meyakini bahwa inilah hukum yang terbaik, yang telah diturunkan oleh Allah Rabbul-’alamin kepada kita semua untuk kita amalkan. Inilah hukum yang terbaik, di mana mengamalkannya adalah satu-satunya jalan agar kita mendapatkan kemashlahatan dan agar kita terhindar dari kemadharatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” 4
Pada ayat ini, Allah menyebutkan dua sifat untuk al-Qur’an, yaitu kalimat yang benar dan kalimat yang adil. Itu karena ayat-ayat al-Qur’an secara umum dapat dibagi menjadi dua:
Pertama: Ayat-ayat yang berupa khabar, yakni mengabarkan tentang suatu perkara. Maka, ayat-ayat yang mengabarkan tentang hal-hal yang ghaib, seperti mengabarkan tentang Nama dan Sifat Allah, dan tentang Hari Akhir, itu termasuk dalam kategori ini. Demikian pula, ayat-ayat yang mengabarkan tentang perkara yang telah terjadi, seperti kisah para nabi dan rasul terdahulu, serta kisah orang-orang kafir yang telah diberikan ‘adzab di zaman dahulu, ataupun perkara yang akan terjadi, seperti Hari Kiamat, Akhirat, Surga, dan Neraka, maka itu semua juga termasuk dalam kategori ini.
Allah menyifati ayat-ayat yang berupa khabar ini sebagai kalimat yang benar. Itu mengapa kita wajib untuk meyakini perkara-perkara tersebut; tidak boleh ada keraguan sedikit pun tentangnya.
Kedua: Ayat-ayat yang berupa amr dan nahy, yakni perintah dan larangan. Maka, ayat-ayat yang memerintahkan tentang berbagai amalan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, itu termasuk dalam kategori ini. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya mu’amalat kita dengan sesama makhluk, maka itu juga termasuk dalam kategori ini. Berbagai larangan yang disebutkan dalam ayat-ayat, seperti larangan berbuat syirik, larangan memakan harta secara bathil, larangan mendekati zina, larangan berbuat riba, dll, maka itu semua juga termasuk dalam kategori ini.
Allah menyifati ayat-ayat yang berupa amr dan nahy ini sebagai kalimat yang adil. Itu mengapa ketika seseorang mengamalkannya, maka itu berarti dia telah mengamalkan hukum-hukum yang paling sempurna dari Dzat Yang Maha Sempurna. Seseorang tidak akan bisa meraih kemashlahatan dan terhindar dari kemadharatan, baik di dunia ataupun di akhirat, kecuali dengan melaksanakan hukum-hukum syar’iy tersebut dengan penuh ketundukan dan keridhaan kepada Allah. Itu karena hukum-hukum tersebut datangnya dari Allah, sehingga ia merupakan cerminan dari Sifat Adil dan Sifat Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com