Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu syar’iy adalah sebuah amalan yang sangat besar keutamaannya di dalam Islam.
Dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طلب العلم فريضة على كل مسلم.
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” 1
Dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah berikan dia pemahaman agama.” 2
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk bersemangat dalam menuntut ilmu syar’iy, apalagi jika kita telah dimudahkan oleh Allah dengan dibukanya berbagai kesempatan oleh-Nya untuk menuntut ilmu syar’iy.
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata,
وينبغي أن يكون حريصا على التعلم، مواظبا عليه في جميع أوقاته ليلا ونهارا، حضرا أو سفرا، ولا يذهب من أوقاته شيئا في غير العلم، إلا بقدر الضرورة، لأكل ونوم قدرا لا بد منه، ونحوهما كاستراحة يسيرة لإزالة الملل، وشبه ذلك من الضروريات.
“Wajib baginya untuk bersemangat dan persisten dalam menuntut ilmu di seluruh waktunya, baik malam hari ataupun siang hari, dan baik saat safar ataupun tidak. Dan tidaklah berlalu sedikit pun dari waktunya untuk selain ilmu, kecuali sesuai kadar yang dibutuhkan untuk makan dan tidur dengan kadar yang memang tidak bisa dihindari, dan untuk selain makan dan tidur seperti istirahat sebentar untuk menghilangkan kebosanan, dan untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang semisalnya.” 3
Inilah sifat dari seorang penuntut ilmu. Dia hendaknya mengerahkan tenaganya dan memaksimalkan waktunya untuk menuntut ilmu syar’iy. Tentunya, ini bukan berarti dia menjadi lalai dan tidak mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya, seperti belajar ilmu-ilmu dunia yang diajarkan di sekolahnya atau di kuliahnya, bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya, dan berbagai kewajiban lainnya.
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah lalu berkata,
وليس بعاقل من أمكنه درجة ورثة الأنبياء ثم فوَّتها.
“Bukanlah orang yang berakal, seseorang yang mungkin baginya untuk mencapai derajat pewaris para nabi, tetapi kemudian dia menyia-nyiakannya.” 4
Sungguh merugi dan sungguh sayang, orang yang telah Allah bukakan kesempatan baginya untuk menuntut ilmu syar’iy, tetapi dia kemudian tidak mengambilnya atau tidak memanfaatkannya secara maksimal. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa orang-orang yang berilmu itu memiliki keutamaan yang sangat besar, yaitu bahwa mereka adalah pewaris para nabi.
Dari Abud-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورِّثوا دينارا ولا درهما، ورَّثوا العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر.
“Sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” 5
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah kemudian berkata, menukil perkataan al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah ketika mewasiatkan empat hal kepada para penuntut ilmu tentang menuntut ilmu syar’iy,
وقد قال الشافعي رحمه الله في رسالته: (حق على طلبة العلم بلوغ غاية جهدهم في الاستكثار من علمه، والصبر على كل عارض دون طلبه، وإخلاص النية لله تعالى في إدراك علمه نصا واستنباطا، والرغبة إلى الله تعالى في العون عليه).
“asy-Syafi’iy rahimahullah berkata dalam kitab Risalah beliau, ‘Wajib bagi para penuntut ilmu untuk berjuang semaksimal mungkin untuk memperbanyak ilmunya, sabar terhadap setiap tantangan yang muncul ketika dia menuntut ilmu, memurnikan niat hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu, baik secara nash ataupun secara istinbath, dan mengharapkan pertolongan dari Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu.’” 6
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com
- Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224). [↩]
- Muttafaqun ‘alaihi, diriwayatkan oleh al-Bukhariy (no. 71, 3116, 7312) dan Muslim (no. 1037). [↩]
- al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, karya Yahya ibn Syaraf an-Nawawiy (1/68). [↩]
- Ibid. [↩]
- Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641). [↩]
- al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, karya Yahya ibn Syaraf an-Nawawiy (1/68). [↩]