Jika penetapan awal bulan Dzul-Hijjah berbeda antara Saudi Arabia dan negeri kita Indonesia, maka kapan kita melaksanakan puasa ‘Arafah? Apakah kita melaksanakan puasa ‘Arafah pada hari di mana para jama’ah haji melaksanakan wuquf di ‘Arafah, atau pada tanggal 9 Dzul-Hijjah mengikuti keputusan dari pemerintah kita?
Hal ini bertumpu pada dua masalah fikih:
Pertama: Jika hilal telah terlihat di salah satu negeri, apakah itu berlaku untuk seluruh negeri di dunia ini, atau setiap negeri mengikuti hilal di negerinya masing-masing atau negeri yang sama mathla’ hilal-nya?
Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang kami lebih condong adalah bahwa setiap negeri mengikuti hilal di negerinya masing-masing atau mengikuti negeri yang sama mathla’ hilal atau tempat terbit hilal-nya dengan negeri tersebut.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib, yaitu:
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام، قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستُهل عليَّ رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال، فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيته، فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه، فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية وصيامه، فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Bahwa Ummul-Fadhl bintul-Harits mengutus beliau (Kuraib) kepada Mu’awiyah di Syam. Beliau (Kuraib) berkata: Maka tibalah aku di Syam, dan aku tunaikan keperluannya Ummul-Fadhl, dan terlihatlah hilal Ramadhan ketika aku di Syam. Aku melihatnya pada malam Jum’at, kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. ‘Abdullah ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma lalu bertanya kepadaku tentang hilal, di mana beliau berkata: Kapan engkau melihat hilal? Aku menjawab: Kami melihatnya pada malam Jum’at. Beliau kemudian bertanya: Engkau sendiri melihatnya? Maka aku menjawab: Na’am, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka pun berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa. Lalu beliau berkata: Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, dan kami akan terus berpuasa hingga kami melengkapi 30 hari atau kami melihat hilal. Aku lalu berkata: Apakah engkau tidak mau mencukupkan dengan ru’yah hilal dan puasa dari Mu’awiyah? Maka beliau menjawab: Tidak. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” 1
Demikian pula, dalil yang digunakan oleh para ulama’ untuk pendapat ini adalah qiyas. Jika negeri yang berbeda itu wajar memiliki waktu awal dan akhir puasa yang berbeda untuk setiap harinya, karena waktu shubuhnya dan maghribnya berbeda, maka demikian pula wajar jika negeri yang berbeda mathla’ hilal-nya akan memiliki waktu awal dan akhir Ramadhan yang berbeda. Dan jika kita menerima adanya perbedaan untuk waktu awal dan akhir Ramadhan ini, maka demikian pula untuk Dzul-Hijjah.
Kedua: Apakah puasa ‘Arafah terkait dengan waktu atau terkait dengan tempat?
Jika terkait dengan waktu, maka akan disunnahkan puasa ‘Arafah bagi penduduk suatu negeri pada tanggal 9 Dzul-Hijjah sesuai dengan kapan tanggal 9 Dzul-Hijjah jatuh di negeri tersebut. Akan tetapi, jika terkait dengan tempat, maka puasa ‘Arafah itu dilaksanakan pada hari ketika para jama’ah haji melaksanakan wuquf di ‘Arafah.
Kami lebih condong pada pendapat bahwa puasa ‘Arafah itu terkait dengan waktu. Dalil yang digunakan oleh para ulama’ untuk menopang pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hunaidah ibn Khalid, bahwa istri beliau berkata,
حدثتني بعض نساء النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصوم يوم عاشوراء، وتسعا من ذي الحجة، وثلاثة أيام من الشهر: أول اثنين من الشهر وخميسين.
“Telah meriwayatkan kepadaku sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura’, tanggal 9 Dzul-Hijjah, dan tiga hari pada setiap bulannya: Senin pertama dari bulan tersebut dan dua Kamis.” 2
Pada hadits di atas, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal 9 Dzul-Hijjah. Ini adalah isyarat bahwa puasa ‘Arafah itu terkait dengan waktu.
Oleh karena itu, kita simpulkan dari pemaparan di atas bahwa jika Indonesia dan Saudi Arabia berbeda dalam penetapan kapan awal Dzul-Hijjah dan konsekuensinya adalah adanya perbedaan dalam penetapan kapan hari raya ‘Idul-Adhha, maka kita di Indonesia melaksanakan puasa ‘Arafah pada tanggal 9 Dzul-Hijjah sesuai dengan kapan tanggal 9 Dzul-Hijjah tersebut jatuh di negeri kita sesuai dengan keputusan pemerintah, bukan pada hari di mana para jama’ah haji melaksanakan wuquf di ‘Arafah.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com