Bahaya Tampil Mengajarkan Ilmu sebelum Menjadi Ahlinya

Di antara kaidah yang agung dalam Islam adalah bahwa ilmu harus diambil dari ahlinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” 1

Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada ahli ilmu jika kita tidak mengetahui tentang suatu permasalahan yang terkait dengan ilmu syar’iy. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita untuk mengambil ilmu dari yang bukan ahlinya.

Imam Malik ibn Anas rahimahullah berkata,

لا يُؤخَذ العلم من أربعة.

“Ilmu tidak diambil dari empat orang.”

Kemudian beliau menyebutkan yang keempat:

ولا من شيخ له فضل وعبادة، إذا كان لا يعرف ما يحدِّث.

“Tidak boleh diambil dari syaikh yang memiliki keutamaan dan merupakan ahli ibadah, jika dia tidak tahu apa yang dia riwayatkan.” 2

Yakni, walaupun seseorang dikenal sebagai orang shalih, ahli ibadah, orang yang bertakwa, maka tetap tidak bisa diambil ilmunya, kecuali dia menguasai ilmu yang hendak dia sampaikan dan ajarkan tersebut. Lalu bagaimana dengan keadaan orang-orang di zaman ini, di mana yang didengarkan dan diberikan panggung justru adalah orang-orang yang fasiq, yang jauh dari ibadah, tetapi berbekal banyaknya pengikut di media sosial sehingga dia bisa mempengaruhi banyak orang dengan perkataannya yang menyimpang!

Jika ada seseorang yang tampil mengajarkan ilmu sebelum menjadi ahlinya, sehingga dia mulai dikenal sebagai da’i atau pengajar, atau membuka majelis-majelis ilmu dan mengajarkan ilmu, padahal dia tidak menguasai ilmu dan belum menjadi ahlinya, maka ini adalah sebuah musibah besar baginya dan orang lain yang mendengarkannya.

Para ulama’ merangkum keadaan orang ini dalam sebuah perkataan,

من تصدر قبل أوانه فقد تصدى لهوانه.

“Barangsiapa yang tampil sebelum waktunya, maka dia telah berjalan menuju kehinaannya.” 3

Atau redaksi lain, menggunakan kalimat yang diambil dari sebuah kaidah fikih yang terkenal,

من تعجل شيئا قبل أوانه عُوقب بحرمانه.

“Barangsiapa yang terburu-buru untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia akan dihukum dengan cara dihalangi dari sesuatu tersebut.” 4

Jika seseorang tetap memaksakan diri untuk banyak mengajar dan dikenal sebagai pengajar tetapi dia belum menjadi ahlinya, maka akan banyak hal-hal ajaib yang akan dia ucapkan dan dia ajarkan.

Sebagaimana yang kita ketahui, banyak yang akan kita ucapkan ketika kita duduk mengajar. Apalagi jika ada pertanyaan dari para jama’ah yang hadir, maka akan semakin banyak pula perkataan yang akan kita ucapkan ketika menjawab pertanyaan mereka tersebut. Jika ilmu belum meresap di dalam dada, maka kemungkinan untuk tergelincir akan menjadi sangat nyata, dan ini tidaklah berujung kecuali pada perkataan tentang agama Allah tanpa ilmu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak orang lain tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuknya, dan berbicara tentang Allah apa-apa yang kalian tidak mengetahui ilmunya.” 5

Para ulama’ menjelaskan bahwa lima dosa yang disebutkan dalam ayat di atas diurutkan berdasarkan seberapa besar dosa tersebut. Dosa yang paling besar adalah yang disebutkan paling terakhir, yaitu berbicara tentang Allah apa-apa yang kita tidak mengetahui ilmunya. Bahkan dosa ini diletakkan setelah dosa kesyirikan kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa dosa berbicara tentang Allah tanpa ilmu itu lebih besar dan lebih berbahaya daripada dosa kesyirikan, karena dampak dari berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah kepada dirinya dan orang lain, yang bisa jadi menyebabkan orang lain untuk berbuat kesyirikan dan kekufuran itu sendiri!

Cara agar kita tidak terjerumus kepada perbuatan tampil mengajarkan ilmu sebelum menjadi ahlinya adalah kita harus menyadari bahwa ilmu itu harus diambil secara sedikit demi sedikit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?’ Demikianlah agar Kami perkuat hatimu dengannya, dan Kami menjelaskannya secara sedikit demi sedikit.” 6

Yang dimaksud dengan ورتلناه ترتيلا (wa rattalnahu tartila) adalah menjelaskannya secara sedikit demi sedikit, sebagiannya setelah sebagiannya yang lain, ayat demi ayat, sehingga pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut menjadi kokoh. 7

Jika seseorang menyadari kapasitas dirinya, mempelajari ilmu dengan penuh keistiqamahan dan kesabaran, dengan cara mempelajarinya secara sedikit demi sedikit, tidak terburu-buru untuk tampil mengajarkan ilmu apalagi berfatwa, maka semoga dia akan dilindungi oleh Allah dari perbuatan tampil sebelum waktunya.

Dan tentunya, wajib baginya untuk mempelajari ilmu dari para ahlinya, yakni dari para ulama’, bukan sekadar dari kitab. Karena ilmu syar’iy ini diambil dari lisan para ulama’, dari generasi ke generasi.

Dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تسمعون ويُسمَع منكم، ويُسمَع ممن سمع منكم.

“Kalian mendengar, dan kalian akan didengar. Dan akan didengar dari orang yang mendengar dari kalian.” 8

Yakni, para sahabat mendengar ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian nanti akan tiba waktunya di mana para sahabat akan didengar ilmunya oleh generasi setelahnya, yaitu generasi tabi’in. Kemudian nanti juga akan tiba waktunya di mana para tabi’in, yang mendengar ilmu dari para sahabat, akan didengar ilmunya oleh generasi setelahnya, yaitu generasi tabi’it-tabi’in. Dan begitulah seterusnya, hingga ilmu syar’iy sampai di zaman kita, di abad ke-15 hijriyyah ini.

Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com

Catatan Kaki:
  1. Surat an-Nahl: 43. []
  2. al-Jami’ li-Akhlaqir-Rawiy wa Adabis-Sami’, karya Ahmad ibn ‘Aliy Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadhiy (1/139). []
  3. Hilyah Thalibil-’Ilm, karya Bakr ibn ‘Abdillah Abu Zaid (hlm. 79). []
  4. Lihat misalnya: al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, karya ‘Abdur-Rahman ibn Ahmad Ibnu Rajab al-Hanbaliy (hlm. 281). []
  5. Surat al-A’raf: 33. []
  6. Surat al-Furqan: 32. []
  7. Ma’alimut-Tanzil, karya al-Husain ibn Mas’ud Muhyis-Sunnah Abu Muhammad al-Baghawiy (6/83). []
  8. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3659). []

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top